Di sebuah kampung kecil yang bernama Rerean di pulau Kei besar, 28 November 1951, lahir seorang bayi laki-laki, dari pasangan Otniel dan Angeline Reimas. Anak yang kemudian diberi nama Solfianus Reimas ini bertumbuh di tengah keluarga yang mengasihi Tuhan. Bapak Otniel Reimas adalah seorang yang sangat tekun berdoa. Karena jumlah penduduk di kampung itu sedikit maka tidak ada pendeta di gereja setempat, bapak Otniellah yang bertugas memimpin dan melayani, semacam ketua majelis jemaat di sana. Ibu Angeline adalah seorang ibu yang penuh kasih, sangat mengasihi anak satu-satunya, itulah sebabnya Solfianus yang dipanggil Nus menjadi sangat dekat dengan ibunya.
Mata pencaharian penduduk di pulau ini selain nelayan, bertani, juga berburu babi hutan. Karena sangat terpencil, sekolahpun sangat terbatas. Namun sebagai orang tua yang baik, bapak Otniel menyekolahkan anaknya walaupun di sekolah kampung yang sangat terbatas sarananya. Nus kecil memulai pendidikan resminya di sekolah rakyat di kampung sampai kelas tiga, untuk melanjutkan kelas empat harus pindah ke kampung Elaar di seberang Rerean. Di tempatnya yang baru, hidup terpisah dari ayah dan ibunya, membuat Nus kecil belajar mandiri. Membantu keluarga di tempat tinggalnya yang baru dan belajar membantu semua pekerjaan yang dapat dilakukan seorang anak.
Lulus sekolah rakyat, Nus masuk SMP Kristen di Tual. Tual pada saat itu menjadi ibu kota Maluku Tenggara. Menumpang di rumah Om Aminadab yang banyak memberikan dorongan untuk sekolah dengan baik, mamacu semangat Nus untuk terus maju.
Berita duka datang dari kampung ketika Nus duduk di kelas 2 SMP, Ibu Angeline meninggal dunia. Dunia seakan berhenti, tidak ada lagi harapan. Suatu hari ketika Nus berjalan menyusuri pantai, masih menangis karena sedih, dengan memandang ke langit dia berdoa : “Tuhan, tolong saya.”. “Itu doa terpendek pertama dalam hidup saya” kenang Nus. Doa singkat sekaligus menjadi pilar yang sangat penting. Lulus SMP, Nus masuk SMA di Tual dan melanjutkan ke Fakultas Tehnik Universitas Pattimura, Ambon. Masuk ke fakultas ini karena cita-citanya untuk membangun kapal yang akan dipakai untuk menghubungkan pulau-pulau kecil di Maluku.
Aktif dalam berbagai organisasi sejak masa Sekolah Lanjutan Pertama, sampai masa menjadi mahasiswa dilalui Nus dengan sangat antusias. Namun bagaimanapun juga, Nus tetap fokus pada pendidikan dan pelayanan di gereja. Ditengah – tengah kesibukan kuliah, Nus tetap menyempatkan diri untuk mengikuti berbagai pelayanan di gereja. Dia aktif sebagai guru sekolah minggu dan menjadi anggota pengurus Angkatan Muda ranting Jemaat Pandan Kasturi Gereja Protestan Maluku (GPM) di Tantui, Ambon.
Pada bulan Januari 1973 ada undangan dari klasis pulau Ambon untuk menghadiri sebuah pelatihan yang disebut KAUM (Kursus Awam Untuk Menginjil), mewakili unsur pemuda bersama wakil dari majelis jemaat dan pendeta, yang dilaksanakan di desa Amahusu, tidak jauh dari pulau Ambon. Ternyata acara tersebut dilaksanakan atas kerja sama GPM dan Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI). Acara yang berlangsung lima hari itu diisi dengan ceramah, pelatihan penginjilan, praktek menginjil dan kebaktian kebangunan rohani. Acara ini dihadiri oleh sekitar 300 orang peserta.
Pada acara pembukaan, Pendeta Ais Pormes, pendiri dan direktur LPMI, menyampaikan kotbah pembukaan, di akhir khotbahnya dia menyampaikan sebuah pertanyaan : “ Kalau kita semua meninggal malam ini, berapa di antara saudara yang yakin masuk surga?” Saat itu Nus sedang duduk sambil mengangkat kaki di bangku besar di belakang dekat pintu masuk gereja. Tidak ada yang melihat, namun dia mengamati, Kok tidak ada yang mengangkat tangan ? Mendengar tantangan itu dia berpikir keras, kalau saja para pemimpin yang hadir malam ini tidak memiliki kepastian, bagaimana dengan mereka yang sama sekali belum pernah mendengar Injil ? Nus membatin. Ketika Pendeta Ais Pormes menyampaikan tantangan untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi, Nus berdiri menyambut tantangan itu dengan berdoa menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi. Walaupun dia telah aktif melayani sebagai guru Sekolah Minggu, namun soal menerima Yesus secara pribadi baru dimengerti setelah ceramah malam itu. Itulah titik balik hidupnya dan menjadi pengalaman terbesar dalam kehidupan Nus. Hari itu tepatnya tanggal 21 Januari 1973, jam 9 malam.
Sekembalinya dari acara KAUM ini, pikiran masa kecil Nus timbul kembali, keinginan untuk menjadi seorang pendeta. Karena di kampungnya, Rerean, pendeta hanya datang setahun sekali. Jika datang ke kampung, pendeta akan disambut seperti seorang raja. Pikiran itu terus mengganggunya sampai tidak dapat tidur nyenyak. Ia ada di persimpangan jalan, mau melanjutkan kuliah di Fakultas Tehnik untuk meneruskan cita-cita membangun kapal-kapal di kepulauan Maluku atau menjadi Hamba Tuhan yang memberitakan kabar baik dan memberitahukan kepada semua orang bahwa barang siapa yang percaya kepada Yesus beroleh hidup yang kekal. Pergumulan itu mencapai klimaks pada keputusan terbesarnya, Nus mau menjadi seorang hamba Tuhan. Setelah berdiskusi dengang beberapa pimpinan LPMI, bahkan menulis surat kepada ayahnya dan mendapat dorongan, akhirnya bulat tekadnya untuk melayani melalui Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia.
Masa pusat latihan untuk menjadi hamba Tuhan di LPMI dilalui dengan cepat karena semangatnya melayani yang menggebu-gebu, walaupun tidak sedikit tantangan yang menarik Nus muda untuk keluar dari pelayanan. Pernah mantan guru SMA-nya semasa di Tual menantangnya untuk kembali pulang dan membangun daerahnya. Namun tekadnya sudah bulat untuk melayani di Lembaga ini. Di awal masa pelayanannya ada saja hal yang membuatnya sempat berpikir ulang tentang masa depannya di LPMI. Bagaimana tidak, semua staf LPMI tidak ada yang digaji. Bill Bright, pendiri Lembaga Pelayanan Mahasiswa ini, menetapkan kebijakan tersebut sejak awal yakni setiap orang yang mengambil keputusan melayani di lembaga ini harus mengusahakan biaya hidupnya sendiri. Yang luar biasa Nus muda, membangun sebuah prinsip di dalam hidupnya. “ Jika saya bekerja dari gaji, saya akan menghitung-hitung. Jika saya bekerja 24 jam dan teman saya bekerja hanya 5 jam, maka saya akan menghitung-hitung, saya harusnya dapat segini. Pikiran seperti ini dapat membuat teman lain sakit hati. Kalau tidak digaji, saya boleh bekerja 24 jam tapi tidak mengklaim, sebab itu adalah kesukaan dan kebanggaan.
“Puji Tuhan!” kata Nus, “Lebih dari 45 tahun dalam pelayanan, saya dan keluarga tidak pernah berkekurangan. “How great is our God.” Di LPMI juga Nus menemukan kekasih hatinya yang kemudian menjadi istrinya, Dientje Bastiana Lopung, yang dinikahi, 3 Desember 1977. Dari pernikahan ini Nus dan Dien dikaruniai 2 orang anak: Billy Natanael Reimas dan Imelda Angeline Reimas.
Saya beryukur karena sampai saat ini masih melayani di berbagai kalangan, kata Nus. Prinsipnya adalah “Tuhan, pakailah saya sehabis-habisnya hari ini.” Itulah yang selalu menjadi doanya setiap pagi, ketika dia berlutut menghadap Tuhan mengawali seluruh pelayanannya dihari itu.
SOLI DEO GLORIA.
Di sarikan dari buku “ ORANG KECIL YANG DIPAKAI TUHAN “
Oleh Wilfred Maret 2018
Jika saudara diberkati dengan Renungan di atas, silahkan klik pilihan di bawah ini :
Atau tuliskan komentar saudara melalui kolom berikut :