KeluargaKomunitas

MENGAPA TEORI RENCANA 50/50 TIDAK BERHASIL DALAM PERNIKAHAN 

98views

MENGAPA TEORI RENCANA 50/50 TIDAK BERHASIL DALAM PERNIKAHAN

Saudara tentu tidak senang jika melihat pasangan bertengkar di depan umum, bukan?

Beberapa minggu yang lalu saya sedang duduk menanti penerbangan di bandara, menunggu untuk boarding. Duduk di sebelah saya sepasang orang tua muda dengan seorang bayi. Ketika mengamati mereka saya seperti melihat seorang yang membuka sekaleng Coca Cola setelah mengocoknya selama 30 detik. Saya tahu apa yang akan terjadi, dan rasanya ingin  menutup muka saya untuk bersembunyi.

Mereka lelah dan frustrasi. Masing-masing ingin rileks dan membiarkan yang lain merawat bayi yang rewel dan memperhatikan setumpuk barang bawaan. Sang suami tampaknya adalah salah satu dari orang-orang yang marah setiap kali keadaan tidak berjalan sesuai keinginannya.

Ketika mereka berjalan menuju pesawat, telepon sang istri berdering. Dia ingin suaminya menggendong bayinya saat dia berbicara di telepon, dan sang suami pun meledak. “Aku sudah menjaganya sepanjang hari!” dia mengeluh (dengan keras). “Kamu selalu main telepon.”

“Kamu sama sekali tidak membantu,” jawab sang istri. “Dan kamu sendiri apa tidak pernah menelepon?”

Itu terus berlanjut dari sana  sampai sepanjang jalan menuju pesawat. Saya bertanya-tanya, bagaimana mereka memperlakukan satu sama lain di balik pintu tertutup jika mereka bertindak seperti ini di depan umum.

Untungnya mereka menjadi tenang di pesawat, berkat campur tangan pramugari yang menghujani mereka dengan perhatian dan dorongan. Dia melakukan segala yang ia bisa untuk membuat penerbangan itu menyenangkan bagi mereka, dan itu sepertinya mengurangi tekanan.

Kelihatannya pasangan muda ini tidak mempunyai solusi bagaimana menyelesaikan konflik dalam relasi mereka. Tetapi saya akhirnya berpikir untuk menggarisbawahi penyebab konflik mereka: Mereka sepertinya sedang mempraktekkan bentuk pernikaha seperti yang dilaksanakan dunia  – teori Rencana 50/50. Istri merasa ia sedang melakukan bagiannya mengurus putrinya, dan suaminya tidak melakukan bagiannya dengan baik, Suami juga merasa hal yang sama tentang sang istri.

Seperti yang sering didiskusikan dalam acara FamilyLife, Rencana 50/50 adalah tindakan berdasarkan apa yang harus dilakukan suami/istri. Biasanya, pasangan melakukan suatu persetujuan tentang bagaimana mereka membagi tugas dalam keluarga dan tugas-tugas dalam rumah tangga,  yang menyatakan,”Kamu lakukan bagianmu, aku lakukan bagianku.” Penerimaan dan pujiaan sering kali bergantung pada bagaimana pasangan melakukan bagiannya. Seperti yang Dennis Rainey tulis dalam bukunya Starting Your marriage Right, “Performance/tugas yang dikerjakan menjadi perekat yang mengikat hubungan mereka bersama. Tetapi sebenarnya itu bukan perekat sama sekali.   Itu lebih seperti Velcro. Kelihatannya melekat, tetapi perekat tidak akan kuat ketika ada sedikit tekanan.”

Di permukaan, Rencana 50/50 terdengar masuk akal – mengapa pasangan tidak seharusnya berjanji melakukan bagiannya? Tetapi pada akhirnya, hal itu tidak berhasil, karena beberapa alasan:

  • Saudara tidak dapat memenuhi semua harapan pasangan saudara.
  • Yang tak dapat dielakkan, saudara akan berfokus pada kelemahan dan kegagalan pasangan, dan tidak melihat kelemahan sendiri.
  • Tidak mungkin mengetahui apakah pasangan sudah memenuhi setengah harapan saudara.

Kebenarannya adalah ke duanya, suami dan istri yang menikah adalah orang berdosa, manusia yang tidak sempurna, dan masing-masing mencari jalannya sendiri. Seperti apa yang dikatakan Rainey,”Apa yang dibutuhkan pernikahan adalah perekat super dari Filipi 2:3: ”Tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hai yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.” Inilah rujukan dari apa yang kita sebut Rencana 100/100, yang membutuhkan 100 persen usaha dari setiap pasangan untuk melayani pasangannya.

Alkitab menjelaskan dengan baik Rencana 100/100 dalam Matius 22:39: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Tidak ada orang lain yang lebih dekat dari pada orang yang setiap pagi bangun di samping saudara! Dan karena kita sangat mengasihi diri kita sendiri, maka kita dapat dengan baik mempraktekkan Rencana 100/100 ini, jika dengan cara yang sama kita melakukan pendekatan yang sama dalam mengasihi pasangan kita.

Mulailah dengan membuat pernyataan Rencana 100/100 seperti ini: “Saya akan melakukan apapun yang saya bisa untuk mengasihimu tanpa menuntut jumlah yang sama sebagai imbalannya.”

Dengan Rencana 100/100, baik suami maupun istri akan bersedia untuk melangkah dan melakukan semua pekerjaan. Di rumah, keduanya bersedia melakukan pekerjaan rumah bersama. Di bandara, mereka berdua bersedia memperhatikan bayi yang rewel.

Rencana 100/100 akan bertahan saat menghadapi pencobaan dan kesulitan yang dialami oleh pasangan selama berbagai fase kehidupan dalam berkeluarga. Hal itu membuat sebuah keluarga dapat terus berjalan, bahkan ketika pasangan sedang sakit atau terluka, atau bekerja pada jam-jam yang tidak semestinya, dan karena itu tidak mampu berkontribusi banyak dalam keluarga. Rencana 100/100 memberikan kekayaan dalam relasi, di mana pasangan saling memberikan pujian kepada yang lain karena memiliki kekuatan, kepribadian dan kemampuan yang berbeda.

Secara singkat, Rencana 100/100 adalah rencana yang memberikan gambaran terbaik dari pernikahan yang berdasarkan Firman Tuhan.

(Oleh Dave Boehi, Diterjemahkan oleh RS)

Copyright © 2009 by FamilyLife. All rights reserved. Used with permission.
This article originally appeared in the January 26, 2009 issue of Marriage Memo, a weekly e-newsletter.

https://www.cru.org/us/en/communities/families/why-50-50-plan-fails-in-marriage.html

Jika saudara diberkati dengan Renungan di atas, silahkan klik pilihan di bawah ini :

Atau tuliskan komentar saudara melalui kolom berikut :

Facebook Comments

Leave a Response