Keluarga

REFLEKSI DARI SEBUAH HIMNE

309views

Mendengarkan lagu-lagu Natal adalah salah satu favorit saya pada masa Natal. Saya mendengarkan musik Natal dalam semua genre  – mulai dari jazz, piano, harpa, bluegrass, big band, klasik.

Saya memiliki semuanya mulai dari “Christmas in the Mood” dan “Music Box Natal” hingga “White Christmas” oleh Martina McBride.

Saat mengemudi ke kantor baru-baru ini, saya mendapati diri saya asyik dengan himne lama, “Oh datanglah Imanuel.” Untuk beberapa alasan saya berpikir, “Ini adalah kata-kata yang perlu didengar banyak orang hari ini.”

Di saat ketidakpastian ekonomi dan ketegangan antar umat beragama yang meningkat, saat banyak pernikahan dan keluarga merasakan dampak dari berbagai peristiwa akhir-akhir ini, kata-kata dari lagu ini berbicara tentang harapan dan kegembiraan:

O, datanglah Imanuel, tebus umatMu Israel,
yang dalam berkeluh kesah menantikan Penolongnya.
Bersoraklah hai Israel, menyambut Sang Imanuel!

Saya memikirkan ungkapan, “tebus umat-Mu Israel, yang berkeluh kesah, menantikan Penolongnya.” Ketika Yesus lahir, umat Allah benar-benar hidup dalam tawanan – mereka diperintah oleh orang Romawi dan mereka berharap Juru selamat membebaskan mereka. Mereka menginginkan kelegaan dari penderitaan jasmani mereka.

Namun penawanan  dan pengasingan mereka juga bersifat spiritual, karena mereka telah melewati 400 tahun tanpa mendengar dari Tuhan melalui para nabi atau ilham dari Kitab Suci. Mereka tidak mengalami berkat, tuntunan, penyediaan, dan kehadiran Tuhan.

Saya rasa menarik ketika Imanuel, yang artinya “Tuhan bersama kita”, akhirnya muncul, Dia datang sebagai bayi yang lahir dalam keadaan yang rendah dari sebuah keluarga miskin.

Yesus menjalani seluruh hidup-Nya di bawah pemerintahan kekuatan asing yang kejam. Selama pelayanan publik-Nya, Dia berfokus pada membebaskan orang-orang Israel dari pengasingan rohani daripada penawanan fisik.

Seperti Israel kita berpikir masalah terbesar kita adalah secara fisik.

Pada tingkat yang lebih besar, kita menginginkan pertolongan dari kesulitan ekonomi dan terorisme. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menginginkan kelegaan dari konflik dengan pasangan, masalah dalam membesarkan anak, kesulitan dalam hubungan dengan keluarga, majikan yang menindas atau rekan kerja yang bermusuhan.

Namun, masalah terbesar kita sebenarnya bersifat rohani. Dalam arti tertentu, kita semua sedang berkeluh kesah “dalam pengasingan yang sepi” ketika kita tidak terhubung dengan Tuhan, ketika Dia tidak “bersama kita”.

Yesus tidak datang untuk membebaskan kita dari penderitaan, tetapi untuk membebaskan roh kita saat kita melalui penderitaan yang merupakan bagian dari hidup.

Dia memungkinkan kita untuk terhubung dengan Tuhan – untuk mengenal Dia secara pribadi.

Bagi mereka yang telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat, Roh Kudus tinggal di dalam diri mereka untuk membimbing, menghibur dan memperkuat mereka, apa pun  keadaan mereka.

Pikirkan tentang orang-orang yang Saudara kenal yang telah mengalami pencobaan dan penderitaan selama setahun terakhir ini. Orang yang kehilangan orang yang dicintai atau telah dikhianati oleh pasangan atau seseorang yang mereka percayai, atau mengalami sakit penyakit. Pikirkan penderitaan atau sakit hati yang Saudara hadapi.

Tidakkah Saudara bersukacita memiliki Juruselamat yang mengalami kesulitan dan penderitaan yang sama sehingga kita dapat mengenal Tuhan?

Itulah mengapa kita harus bersukacita pada waktu Natal. Hal itu mengingatkan kita pada Imanuel, Tuhan yang menyertai kita. “Bersoraklah hai Israel, menyambut Sang Imanuel!

Oleh: Dave Boehi   

Copyright © 2008 by FamilyLife. All rights reserved.

Diambil dari https://www.cru.org/us/en/blog/life-and-relationships/holidays/a-different-take-on-a-beloved-carol.html

Diterjemahan oleh RS

Jika saudara diberkati dengan Artikel di atas, silahkan klik pilihan di bawah ini :

Atau tuliskan komentar saudara melalui kolom berikut :

Facebook Comments

Leave a Response